Record Detail Back

XML

Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah :Kritik Mushthafa al-Siba'i Terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadis dalam Fajr al-Islam


Bibliografi :hlm.255-268
terdapat lampiran hadis berbahasa arab
Erfan Soebahar - Personal Name
cet.1,Ed.1
297.6 ERF m C
979.3465.20.4
297.6
Text
Indonesia
Kencana Prenada Media
2003
Jakarta
xiv,302hlm.:ilus.:21cm
Rihlah adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Ibnu Batutah menamakan karya terkenalnya dengan Ar-Rihlah. Begitu juga dengan Ibnu Jubair. Dalam terjemahan bahasa Inggris, kedua karya mereka dijuduli dengan The Travel. Pada mulanya, rihlah dilakukan oleh segelintir orang untuk mencari hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke berbagai penjuru negeri Islam pada abad-abad pertama peradaban Islam. Mereka mesti melakukan itu untuk mempelajari Islam langsung dari sisi Rasulullah. Dan dalam sudut pandang agama, biasanya rihlah seperti ini dipandang sebagai ibadah. Asal niatnya ikhlas untuk Allah dan dengan cara yang dibenarkan oleh agama, mereka akan diganjar dengan pahala yang besar. Bahkan, siapa pun yang mati di tengah perjalanan rihlahnya kedudukannya sejajar dengan syahid fi sabilillah. Yang mesti dicatat, hanya untuk mendengar dan mencatat kemudian menghafal hadits-hadits tersebut, misalnya, atau bahkan untuk hanya mendengar dan menghafalkannya mereka mengadakan rihlah yang jauh serta lama. Tidak terbayang banyak usaha yang dikeluarkan, dari bekal makan sampai biaya. Mereka melakukan itu dalam tempo yang relatif berbeda, tergantung siapa ahli hadits yang dituju masing-masing. Dan semua itu tidak mereka hitung sebagai beban sial yang mesti ditempuh. Mereka telah melakukannya. Kisah mereka telah sampai dan abadi bersama kita hari ini. “Sebanyak lima kali,” kata Abdurrahman bin Kharasy Al-Marwazi, “aku pernah meminum air kencingku waktu melakukan perjalanan untuk mencari hadits-hadits.” Ia terpaksa meminumnya, agar tetap bertahan hidup. Berbeda dengannya. Ibnu Abi Hatim Ar-Razi ketika berada di Mesir, pernah makan mentah-mentah ikan yang hampir busuk—karena dibiarkan tersimpan tiga hari tanpa diolah. Ini terjadi ketika suatu hari ia terpaksa meninggalkan ikan yang sedianya akan dimakan tersebut disebabkan jadwal pembacaan-pembacaan hadits yang begitu padat pada waktu itu dan tidak menyisakan waktu sedikit pun baginya meski hanya sekedar untuk membakar ikan. Di antara mereka ada yang hampir mati kehausan karena kehabisan bekal, seperti yang dialami oleh Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdi. Ketika diusir dari Bashrah, Irak, suatu hari, atas sebab dakwah yang diserukannya di sana, ia terpaksa melanjutkan rangkaian rihlahnya ke wilayah Syam hanya dengan berjalan kaki dan bekal seadanya. Dan ia hampir saja menemui ajalnya, sebelum akhirnya bertemu dengan seseorang yang memberinya minum dan membawanya ke pemukiman penduduk yang terdekat. Ada yang buta karena terus-menerus menulis di bawah penerang yang lemah. Seperti Ibnu Katsir yang buta di akhir hidupnya. Ia begitu, karena sering menulis di bawah sinar penerangan yang lemah. Padahal ia termasuk salah satu ulama Islam dan banyak dikenal pada hari ini lewat karya-karya tulisnya yang sampai ke tengah-tengah kita. Ada pula yang selalu berjaga malam untuk menulis catatan-catatan pelajaran yang didapat hari itu. Seperti Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, penulis kitab Shahih Al-Bukhari, ia sering menghabiskan waktu malamnya untuk memeriksa dan menulis hadits-hadits yang didengarnya di majelis pembacaan hadits pada waktu siang hari. Bahkan, sekali pun pernah tidur pada malam harinya, ia sering kali terjaga karena munculnya lintasan-lintasan dalam pikirannya tentang hadits-hadits yang telah didengarnya, kemudian bangun untuk segera menuliskan semua itu. Mungkin sepertinya sangat konyol. Tapi, sungguh, semua itu mereka lakukan karena mereka menganggap sesuatu yang ingin mereka dapatkan itu lebih penting dari benda-benda beharga di sekeliling mereka. Bahkan, jauh lebih penting dari nafas dan jiwa mereka sendiri. Tidak heran bila beberapa dari mereka sendiri ada yang menganggap diri-diri mereka dan orang-orang yang mencoba meniru jalan mereka sebagai orang-orang yang bakal bangkrut. Pernah suatu hari, Sufyan bin Uyainah bertanya kepada seseorang. “Apa pekerjaanmu?” “Aku pencari hadits,” jawab orang itu. Sufyan bin Uyainah pun berkata, “Segera kabarkan keluargamu dengan kerugian.” “Barang siapa yang mencari hadits,” kata Syu’bah bin Hajjaj, “ia akan bangkrut. Sungguh, aku betul-betul telah bangkrut karena itu.” Dan ia jujur, meskipun namanya pada hari ini tetap tertulis di kitab-kitab hadits dan diakui sebagai amirul mukminin dalam bidang hadits oleh seluruh peneliti hadits di dunia ini. Siapa pun yang ingin mencari dan mencatat hadits adalah orang-orang yang sengsara hidupnya. “Mencari hadits adalah pekerjaan orang-orang yang bangkrut. Tidaklah pernah kulihat orang-orang yang paling mengenaskan kehidupan mereka kecuali para pencari hadits,” komentar Fadhl bin Musa Asy-Syaibani. Adalah masyhur cerita tentang Ahmad bin Hanbal yang pernah menggadaikan sandalnya ke tukang roti untuk mendapatkan makanan. Belum lagi cerita tentang musibah yang menimpanya ketika sedang berada di Yaman ketika pakaian-pakaiannya diambil orang. Akibatnya, ia hanya bisa duduk dan mengurung diri di dalam rumah. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari pun pernah seharian ditunggu-tunggu oleh murid-muridnya ketika berada di Bashrah. Mereka ingin mendengarkan pembacaan hadits-hadits olehnya seperti biasa. Padahal, pada waktu itu, ia sedang berada di rumahnya, dalam keadaan telanjang dan tak dapat keluar. Telah habis bekalnya dan tak tersisa sedikit pun harta padanya. Sebenarnya, semua komentar dan cerita yang ada tentang para pencari hadits tersebut bukanlah penghinaan atas keadaan yang menimpa mereka. Sebab, baik Sufyan bin Uyainah, Syu’bah bin Hajjaj atau pun Fadhl bin Musa, mereka semua adalah para pencari hadits itu sendiri seperti halnya Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Bukan pula usaha mereka untuk menertawakan diri-diri mereka sendiri dalam hidup yang mereka jalani. Bahkan, dapat dikatakan, mereka justru bangga dan menikmati semua itu. Semacam ekstase dalam hidup masing-masing. Semacam fana’ yang tak seorang pun dapat merasakannya total, menyepertikannya, kecuali bila mencoba untuk langsung masuk dan meniru jalan-jalan mereka. Karena itu, rihlah adalah sebuah jalan, sebuah usaha terus-menerus yang dilakukan dalam hidup dan takkan selesai sampai ajal menjemput. Rihlah adalah sebuah bagian dari proses untuk mendapatkan agama sekaligus menjaganya, meski tidak semua orang-orang yang beragama tahu tentang ini.[]
LOADING LIST...
LOADING LIST...